Untuk merayakan hari Kartini sebagai lambang perjuangan kaum perempuan dalam memperoleh hak azazi, nuansa lomba berkebaya dan bersanggul ala Kartini digelar di mana-mana. Siapa yang pintar bersanggul, berkebaya dan bernyanyi, anggun jalannya, elok wajahnya, dialah pemenangnya. pantaskah itu semua digambarkan dalam perenungan kepada RA. Kartini ?
Raden Ajeng Kartini lahir pada tahun 1879 di kota Rembang. Anak salah seorang bangsawan yang masih sangat taat pada adat istiadat. Setelah lulus dari Sekolah Dasar ia tidak diperbolehkan melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi oleh orangtuanya. Ia dipingit sambil menunggu waktu untuk menikah. Kartini kecil sangat sedih dengan hal tersebut, ia ingin menentang tapi tak berani karena takut dianggap anak durhaka. Untuk menghilangkan kesedihannya, ia mengumpulkan buku-buku pelajaran dan buku ilmu pengetahuan lainnya yang kemudian dibaca di taman rumahnya.
Akhirnya membaca menjadi kegemaran seorang Kartini. Semua buku, termasuk surat kabar dibacanya. Melalui buku inilah, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa (Belanda, yang waktu itu masih menjajah Indonesia). Timbul keinginannya untuk memajukan perempuan Indonesia.Perempuan tidak hanya di dapur tetapi juga harus mempunyai ilmu. Ia memulai dengan mengumpulkan teman-teman perempuannya untuk diajarkan tulis menulis dan ilmu pengetahuan lainnya. Ditengah kesibukannya ia tidak berhenti membaca dan juga menulis surat dengan teman-temannya yang berada di negeri Belanda.Tidak berapa lama ia menulis surat pada Mr.J.H Abendanon. Ia memohon diberikan beasiswa untuk belajar di negeri Belanda.
Beasiswa yang didapatkan Kartini tidak sempat dimanfaatkannya karena ia dinikahkan oleh orangtuanya dengan Raden Adipati Joyodiningrat. Setelah menikah ia ikut suaminya ke daerah Rembang. Suaminya mengerti dan ikut mendukung Kartini untuk mendirikan sekolah perempuan. Berkat kegigihannya Kartini berhasil mendirikan Sekolah Perempuan di Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya.Nama sekolah tersebut adalah “Sekolah Kartini". Ketenarannya tidak membuat Kartini menjadi sombong, ia tetap santun, menghormati keluarga dan siapa saja, tidak membedakan antara yang miskin dan kaya.
Pada tanggal 17 september 1904, Kartini meninggal dunia dalam usianya yang ke-25, setelah ia melahirkan putra pertamanya. Setelah Kartini wafat, Mr.J.H Abendanon mengumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan R.A Kartini pada para temannya di Eropa.Buku itu diberi judul “Door Duisternis Tot Licht” yang artinya “Habis Gelap Terbitlah Terang”.
Raden Ajeng Kartini sudah lama meninggalkan kaumnya namun ide, fikiran dan cita-citanya tentu selalu relevan dengan zaman sekarang. Namun bagaimana realita perempuan sekarang kalau kita rujuk kepada pribadi Raden Ajeng Kartini ?
Umumnya perempuan sekarang memang sudah banyak yang memperoleh pendidikan. Ada yang memperoleh emansipasi dan pendidikan tinggi. Namun sebahagian besar baru sebatas bisa membaca (melek huruf) dan sebatas bisa berhitung (melek angka) dengan cita-cita yang masih kerdil atau tidak memiliki cita-cita sama sekali, karena bingung dengan kondisi masa depan. Pribadi mereka pun banyak yang masih rapuh- mudah putus asa.Ada yang terlalu manja dan terlalu cengeng.
Beberapa karakter mereka yang lain yang perlu dikritik karena begitu kontra dengan karakter kartini. Yaitu gaya hidup hedonisme (terlalu memuja kemewahan dan kesenangan hidup) dan konsumerisme. Gejala-gejala ini sudah terlihat sejak kaum perempuan duduk di bangku SMA, menjadi Mahasiswa dan setelah dewasa kelak. Agaknya Kartini tetap senang melihat kaumnnya menjadi cantik, namun ia akan gerah bila melihat para perempuan pemalas yang banyak menggantungkan hidup pada orang tua, kakak atau terlalu menunggu komando dari suami. Karakter yang ideal dengan harapan Kartini- sesuai dengan kodrat perempuan timur/ perempuan Indonesia adalah seperti karakter yang terdapat dalam uraian singkat tentang Kartini tadi.
Bahwa Kartini tahu dengan adat istiadat dan tidak memungut adat/budaya luar tanpa filter- adat yang menjunjung tinggi etiket (tata krama berpakaian, berbicara, bersikap) tanpa harus memungut gaya hidup yang glamour hingga lupa diri. Kartini takut dianggap sebagai anak durhaka (maka ia tidak mau menentang orang tua) berarti ia bersikap bijaksana dalam mengangkat harga diri.Meskipun Kartini menikah tapi ia tidak berhenti dalam belajar. Ia masih setia mengoleksi buku
(mengumpulkan buku-buku yang berkualitas) dan melakukan Otodidak -
belajar mandiri atau belajar sepanjang hayat (long life education). Ia melakukan korespondensi untuk bertukar fikiran dengan orang yang juga punya wawasan dan malah membuka diri untuk menguasai bahasa Asing (Bahasa Belanda).
Cukup kontra dengan kebanyakan perempuan sekarang yang hanya belajar ketika masih terikat pada suatu lembaga ,kemudian tidak pernah menyentuh buku lagi setelah lulus atau setelah berkeluarga sehingga fikirannya membeku atau meng-kristal.Maka berbanding lurus bila ada ibu yang berhenti belajar menciptakan keluarga yang juga kurang berhasil dalam bidang akademik atau kehidupan, lantas kemudian menuduh sekolah sebagai biang kerok kegagalan.
Selain itu, meski Kartini adalah sosok yang sangat menjunjung tinggi ilmu pengetahuan tetapi ia pun tak pernah meninggalkan ilmu agama jauh di belakang, karena di sisi lain beliau pun menjadi seorang guru mengaji.
Kartini memang bicara tentang hak wanita tetapi Kartini pasti menangis bila melihat kaumnya melupakan kodrat dirinya sebagai wanita dengan melupakan hak-hak keluarganya dengan mengedepankan hak pribadinya. Kartini pasti tahu, bahwa dari keluarga yang kokohlah dapat terlahir generasi harapan yang luar biasa.
Akhirnya, Pakaian kebaya dan sanggul yang besar tidak akan ada artinya apabila karakter hidup kaum perempuan sangat kontra dengan pribadi, perilaku atau karakter panutan kita, yakni Raden Ajeng Kartini.
Selamat Hari Kartini.(Rdn)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar