Akhir-akhir ini, fenomena nikah siri memberikan kesan yang menarik. Pertama, nikah siri sepertinya memang benar-benar telah menjadi trend yang tidak saja dipraktekkan oleh masyarakat umum, namun juga dipraktekkan oleh figur masyarakat yang selama ini sering disebut dengan istilah kyai, dai, ustad, atau istilah lainnya yang menandai kemampuan seseorang mendalami agama (Islam) disamping tokoh masyarakat. Kedua, nikah siri sering ditempatkan menjadi sebuah pilihan ketika seseorang hendak berpoligami dengan sejumlah alasannya tersendiri. Ketiga ternyata perempuan dalam status nikah siri sering menjadi korban KDRT.
Rancangan undang-undang tentang kawin siri dianggap melecehkan Islam. Alasannya dengan RUU tersebut otomatis menganggap kawin siri adalah bentuk perzinahan dan bisa dipidanakan. Padahal dalam Islam menganggap kawin siri adalah sah. Menanggapi hal tersebut, pemerintah meminta masyarakat melihat RUU tersebut dari sisi kesejahteraan wanita dan anak. Demikian disampaikan Menteri Agama Suryadharma Ali di Jakarta, Rabu (Kompas, 17/2/2010).
Saat ini banyak terjadi pro dan kontra tentang nikah sirih. Pihak yang pro-RUU itu menilai ancaman sanksi pidana diperlukan untuk mencegah agar perempuan tidak menjadi korban dalam pernikahan siri, karena hal itu
biasanya dilakukan hanya untuk justifikasi atau kedok dari perzinaan terselubung. Tapi tidak sedikit kalangan yang kemudian bereaksi keras dan tidak menyetujui RUU itu karena dianggap merupakan intervensi negara urusan privat dan bertentangan dengan agama.
Pemerintah mempunyai keinginan untuk melindungi perempuan dan anak agar tidak menjadi korban dalam pernikahan ke dalam ranah hukum tampaknya tidaklah mudah. Draf Rancangan Undang-Undang Hukum Material Peradilan Agama Bidang Perkawinan, yang sebagian pasalnya berisi ancaman hukuman pidana bagi pelaku kawin siri, tak hanya ditentang para lelaki dan sejumlah tokoh agama Islam, tapi juga ditentang sendiri oleh kalangan perempuan yang justru hendak dilindungi melalui ancaman sanksi pidana bagi pelaku nikah siri dan kawin kontrak.
Dalam kenyataan, memang harus diakui tidak semua pernikahan siri selalu diwarnai oleh efek yang merugikan perempuan dan anak. Bahkan tidak sedikit kasus pernikahan siri yang kehidupan pasangannya jauh lebih harmonis daripada pasangan yang menikah dan mencatatkan diri secara sah di kantor urusan agama (KUA). Tapi, karena sebagian posisi perempuan di Indonesia masih tersubordinasi dan acap kali menjadi korban ideologi yang patriarkis, bagaimanapun harus diakui bahwa pernikahan siri tidak jarang menebar penderitaan dan menjadi media bagi superioritas laki-laki untuk menunjukkan kekuasaan dan arogansinya kepada perempuan. Jumlah perempuan korban KDRT ternyata terus meningkat dan sebagian ternyata berada dalam status Nikah Siri.
Melindungi perempuan dan anak melalui payung hukum yang mengancamkan sanksi-sanksi pidana dan menggunakan pendekatan yang sifatnya legal-punitif, dalam beberapa bagian, harus diakui memang agak mensimplifikasi masalah. Artinya, kalaupun RUU itu benar-benar disahkan dan para pelaku nikah siri divonis sanksi pidana yang berat, sebetulnya hal itu bukan jaminan bahwa nasib perempuan bakal lebih baik.
Dalam ajaran agama apa pun dan dalam etika sosial masyarakat di mana pun, semua umumnya sepakat bahwa kehadiran perempuan dan anak mutlak harus dilindungi dari semua bentuk ancaman perlakuan kasar serta tekanan psikis. Tetapi, untuk memastikan agar perempuan tidak menjadi korban yang dirugikan dalam lembaga dan kehidupan perkawinan dengan pasangannya, sebetulnya yang dibutuhkan bukan hanya nilai, norma, dan payung hukum yang pro-perempuan, tapi yang juga tak kalah penting adalah upaya-upaya yang lebih berorientasi pada pemberdayaan perempuan secara mandiri. Seorang perempuan harus bersikap asertif atau tegas dan istri harus mampu mengemukakan pikiran-pikiran dan perasaannya secara jujur dan spontan, tanpa rasa bersalah, serta tidak bermaksud untuk melukai orang lain sehingga perempuan akan dapat meningkatkan kepuasan kehidupan pribadi serta kualitas hubungan dengan orang lain serta mampu berkomunikasi secara efektif dengan situasi lingkungannya. Akhirnya, sebagai perempuan kita harus mampu berpikir dan bertindak rasional demi eksistensi dan kebahagian kita di masa depan.
oleh Dra. Eva Damayanti- Dosen dan Kepala Jurusan PAUD Fak. Psikologi Untag Surabaya.

aat (abdurrahmatsyah) psikologi untag 2007, tukang zina yang hamil di luar nikah bersama adik kelasnya youli herlinna. Untag punya pengurus bem tukang zina yang hamil di luar nikah, benar-benar memalukan. Pengangguran yang punya anak istri, belum lulus kuliah ga punya pekerjaan tetap, dan selalu minta uang orang tuanya buat menghidupi anak istrinya. Dan hidup nebeng makan minum dirumah mertuanya di Jombang. Ini laki-laki apa banci, menghidupi anak istrinya aja ga bisa. Akibat dosa zina yang dilakukannya, sekarang anak hasil zinanya yang paling kasihan, kakinya terlahir cacat, tapi ga punya biaya yang cukup buat terapinya. Masa anaknya juga harus nanggung aib orang tuanya. Benar-benar pengangguran bejat, tukang zina, hamil diluar nikah
BalasHapus